TikTok telah menjadi salah satu platform media sosial terbesar di dunia, termasuk di Indonesia. Namun, di tengah popularitasnya, muncul istilah “kandang monyet” yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana platform ini dipenuhi dengan konten yang dianggap kurang bermutu atau tidak mendidik. Apakah julukan ini benar adanya? Apa yang sebenarnya terjadi di TikTok Indonesia?
Sejarah dan Popularitas TikTok di Indonesia
TikTok pertama kali diperkenalkan oleh perusahaan teknologi asal Tiongkok, ByteDance, pada tahun 2016. Sejak saat itu, platform ini berkembang pesat, terutama di kalangan generasi muda Indonesia. Dengan format video pendek yang kreatif dan fitur yang mendukung viralitas, TikTok berhasil menggaet jutaan pengguna aktif setiap harinya.
Menurut data dari We Are Social (2024), TikTok menjadi salah satu aplikasi dengan jumlah pengguna terbanyak di Indonesia, bersanding dengan platform lain seperti YouTube, Instagram, dan Facebook. Namun, kepopulerannya juga diiringi dengan berbagai kontroversi.
Asal Mula Istilah “Kandang Monyet”
Istilah “kandang monyet” pertama kali muncul sebagai kritik terhadap isi konten yang beredar di TikTok Indonesia. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan bagaimana banyak pengguna di platform ini melakukan hal-hal yang dianggap tidak bermutu, hanya demi mendapatkan perhatian dan viralitas.
Menurut artikel di Mojok.co, ada beberapa alasan utama mengapa TikTok mendapat julukan ini:
- Konten yang Kurang Berkualitas Banyak pengguna TikTok mengunggah video yang dianggap tidak mendidik atau hanya sekadar mencari sensasi. Dari tantangan berbahaya hingga prank berlebihan, banyak video yang lebih mengedepankan hiburan instan tanpa memperhatikan manfaat atau nilai edukatifnya.
- Perilaku Pengguna yang Mencari Sensasi Sejumlah kreator TikTok rela melakukan hal-hal ekstrem seperti berpakaian aneh, bertingkah tidak biasa, atau bahkan melakukan aksi berbahaya hanya untuk mendapatkan perhatian lebih. Fenomena ini semakin diperparah dengan budaya “likes” dan “followers” yang menjadi tolak ukur kesuksesan di platform ini.
- Komentar yang Tidak Relevan dan Penuh Template Salah satu fenomena unik di TikTok Indonesia adalah komentar tanpa konteks yang menggunakan template tertentu. Hal ini sering kali membuat diskusi menjadi kurang bermakna dan hanya menjadi ajang spam di kolom komentar.
- Algoritma yang Mendorong Konten Viral Tanpa Seleksi Kualitas Algoritma TikTok sangat kuat dalam mempromosikan konten yang viral, tanpa mempertimbangkan kualitas atau nilai edukatifnya. Akibatnya, video-video sensasional lebih mudah tersebar dibandingkan konten yang lebih bermutu.
Dampak Fenomena “Kandang Monyet” di TikTok
Fenomena ini memiliki dampak yang cukup besar terhadap budaya digital di Indonesia. Beberapa dampak yang dapat diamati antara lain:
- Menurunnya Standar Konten Digital Dengan banyaknya konten viral yang kurang berkualitas, standar hiburan digital masyarakat pun ikut menurun. Banyak pengguna lebih memilih konten ringan dan lucu dibandingkan dengan konten edukatif.
- Pengaruh Buruk bagi Generasi Muda TikTok banyak digunakan oleh remaja dan anak-anak. Jika mereka terus-menerus terpapar konten yang kurang mendidik, maka pola pikir dan kebiasaan mereka bisa ikut terpengaruh.
- Peluang dan Tantangan bagi Kreator Konten Berkualitas Di sisi lain, fenomena ini juga menjadi peluang bagi kreator yang ingin mengedukasi masyarakat dengan konten yang lebih bermutu. Tantangannya adalah bagaimana mereka dapat menarik perhatian di tengah derasnya arus konten viral yang lebih ringan.
Bagaimana Seharusnya TikTok Dimanfaatkan?
Meskipun memiliki berbagai kontroversi, TikTok tetap merupakan platform yang dapat dimanfaatkan secara positif. Berikut beberapa cara agar TikTok bisa menjadi lebih bermanfaat:
- Mendukung Konten Edukatif Banyak kreator TikTok yang sebenarnya sudah mulai membuat konten edukatif, seperti video sains, sejarah, tips karier, dan motivasi. Dengan mendukung kreator seperti ini, kita bisa membantu mengubah wajah TikTok Indonesia.
- Bijak dalam Memilih dan Mengonsumsi Konten Sebagai pengguna, kita harus lebih selektif dalam memilih konten yang dikonsumsi. Dengan sering berinteraksi dengan konten berkualitas, algoritma TikTok pun akan lebih banyak merekomendasikan konten serupa.
- Mengedukasi Generasi Muda tentang Literasi Digital Pendidikan tentang literasi digital sangat penting untuk generasi muda agar mereka dapat menggunakan media sosial secara bijak dan tidak mudah terpengaruh oleh tren negatif.
- Mendorong TikTok untuk Lebih Selektif dalam Menampilkan Konten Platform seperti TikTok juga memiliki tanggung jawab untuk mengatur kontennya. Mendorong TikTok untuk memoderasi konten yang berbahaya atau tidak mendidik bisa menjadi salah satu solusi untuk memperbaiki kualitas konten di platform ini.
Kesimpulan
Julukan “kandang monyet” untuk TikTok Indonesia memang muncul sebagai reaksi terhadap maraknya konten yang dianggap kurang berkualitas. Namun, bukan berarti TikTok sepenuhnya negatif. Ada banyak cara untuk memanfaatkan platform ini secara positif, baik untuk edukasi, hiburan yang sehat, maupun pengembangan diri.
Sebagai pengguna media sosial, kita memiliki peran dalam menentukan bagaimana platform ini berkembang. Dengan mendukung konten berkualitas dan menggunakan TikTok secara bijak, kita bisa membantu mengubah persepsi tentang platform ini dan menjadikannya lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Referensi:
- Mojok.co – TikTok Memang Aplikasi Kandang Monyet?
- Kompasiana – Fenomena “Kandang Monyet” di TikTok
- We Are Social – Laporan Digital Indonesia 2024
Dengan memahami fenomena ini lebih dalam, kita bisa lebih bijak dalam menggunakan dan menilai platform seperti TikTok. Bagaimana menurut Anda? Apakah TikTok memang layak disebut “kandang monyet” atau justru bisa menjadi sarana edukasi yang baik? Beri pendapat Anda di kolom komentar!