![]()
Pendahuluan: Mitos yang Terlanjur Populer
Apakah anda pernah mendengar kalimat seperti ini?
“Anak kamu lebih dominan otak kanan, jadi dia cocoknya jadi seniman!”
“Saya orang otak kiri, jadi saya nggak bisa menggambar.”
“Aktifkan otak kananmu agar lebih kreatif!”
Kalimat-kalimat semacam itu sudah jadi makanan sehari-hari di seminar motivasi, pelatihan pengajar, bahkan materi parenting. Sayangnya, semua itu berangkat dari pemahaman yang keliru tentang cara kerja otak manusia.
Artikel ini akan membongkar asal-usul mitos tersebut, mengapa itu bertahan begitu lama, dan apa kata ilmu neuroscience yang sebenarnya.
Sejarah Munculnya Mitos Otak Kanan dan Otak Kiri
Konsep pemisahan fungsi otak kiri dan kanan bermula dari penelitian Roger W. Sperry pada 1960-an, yang kemudian memenangkan Nobel Prize atas temuannya tentang pasien “split-brain”, yaitu pasien epilepsi yang otaknya dibelah di bagian corpus callosum.
Dari sana ditemukan bahwa:
- Otak kiri berperan besar dalam bahasa dan logika.
- Otak kanan cenderung menangani spasial, musik, dan ekspresi wajah.
Namun temuan ini kemudian disederhanakan secara berlebihan oleh media dan industri pengembangan diri. Mereka membuat seolah-olah manusia hanya menggunakan satu sisi otaknya secara dominan, seperti orang “otak kanan” yang emosional dan kreatif atau “otak kiri” yang logis dan dingin.
Kenapa Itu Salah?
1. Kedua belahan otak selalu bekerja sama
Neurosains modern membuktikan bahwa tidak ada satu aktivitas pun yang hanya melibatkan satu sisi otak. Misalnya:
- Menulis puisi melibatkan emosi (kanan) dan bahasa (kiri).
- Bermain musik perlu irama (kanan) dan notasi (kiri).
Studi tahun 2013 dari University of Utah (doi:10.3389/fnhum.2013.00709) menunjukkan tidak ada bukti dominasi otak kiri atau kanan yang permanen pada individu.
2. Otak jauh lebih kompleks dari sekadar kiri-kanan
Otak manusia terdiri dari 100 miliar neuron dan jaringan-jaringan terintegrasi. Pembagian kerja otak tidak bisa dibatasi seperti wilayah negara.
Kalau Anda menggambar, maka Anda tidak hanya pakai otak kanan. Anda juga butuh otak kiri untuk mengatur perspektif, logika komposisi, dan bahkan strategi visual.
3. Mitos ini merugikan dunia pendidikan
Anak-anak yang dicap “otak kanan” bisa jadi merasa tidak cocok belajar matematika atau logika, padahal bisa jadi yang salah hanya pendekatan pengajarannya.
Sebaliknya, anak yang dicap “otak kiri” bisa tumbuh tanpa pernah diberi kesempatan mengasah kreativitas dan seni.
Lalu, Kenapa Mitos Ini Masih Bertahan?
-
Sederhana dan mudah dipahami. Manusia suka berpikir dalam kategori.
-
Dijual di seminar motivasi. Banyak pembicara menggunakan narasi ini untuk menjual “solusi cepat jadi kreatif”.
-
Kurangnya literasi neuroscience di masyarakat.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
-
Berhenti mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan sisi otak.
Semua orang punya potensi logis dan kreatif sekaligus. -
Berikan pendekatan pembelajaran yang menyeluruh dan seimbang.
Ajari logika dengan cara kreatif. Latih seni dengan strategi. -
Sebarkan pemahaman ilmiah yang benar.
Gunakan artikel seperti ini sebagai edukasi di sekolah, media sosial, atau blog pribadi.
Penutup: Jangan Percaya Label, Percayalah pada Proses
Dalam Neurosains moderen tidak ada dominasi otak kanan dan otak kiri. Banyak studi neuroscience terbaru, seperti yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal besar (misalnya Nature Reviews Neuroscience), menyimpulkan bahwa:
“Mitos otak kanan-otak kiri adalah penyederhanaan berlebihan. Tidak ada bukti bahwa seseorang secara dominan menggunakan salah satu sisi otak.”
Bahkan studi 2013 dari University of Utah yang menganalisis scan otak lebih dari 1000 orang menemukan tidak ada korelasi signifikan antara sisi otak yang lebih aktif dengan tipe kepribadian atau kemampuan seseorang (logika vs seni).
Jangan biarkan mitos mengkerdilkan potensi seseorang. Karena otakmu, dan otak anak-anak kita, terlalu ajaib untuk dikurung dalam kotak kiri atau kanan.