Waktu membaca: 2 menit
Setiap Desember, pasar saham New York, London, atau Tokyo serentak tutup untuk merayakan Natal dan Tahun Baru. Namun, hari raya besar agama lain—seperti Idul Fitri, Diwali, atau Hari Raya Waisak—tidak mendapat perlakuan serupa secara global. Apakah ini karena “keistimewaan” agama Kristen? Atau ada faktor lain di baliknya? Mari telusuri akar historis, ekonomi, dan geopolitik yang membentuk fenomena ini.
1. Asal-Usul Kalender Masehi dan Dominasi Global
Sistem Kalender Gregorian
- Kalender Masehi (Gregorian), yang menjadi patokan internasional, dikembangkan di Eropa abad ke-16 dan disebarkan melalui kolonialisme. Tanggal 1 Januari sebagai Tahun Baru diadopsi oleh PBB pada 1947 (sumber: United Nations).
- Natal (25 Desember) sendiri awalnya adalah perayaan pagan Saturnalia Romawi, lalu diadaptasi oleh Gereja Katolik sebagai hari kelahiran Yesus.
Standarisasi Global
- 90% negara di dunia menggunakan kalender Gregorian untuk urusan bisnis dan diplomatik. Ini membuat 1 Januari menjadi “hari libur universal”, terlepas dari latar agama.
2. Kekuatan Ekonomi Negara Kristen-Mayoritas
Dominasi Pasar Keuangan Barat
- NYSE (AS), London Stock Exchange (Inggris), dan Bursa Efek Eropa menguasai 68% kapitalisasi pasar saham global (data World Bank 2023).
- Karena negara-negara ini mayoritas Kristen, libur Natal-Tahun Baru otomatis memengaruhi operasional pasar global.
Kontrol Mata Uang
- Dolar AS (mata uang cadangan dunia) dan Euro dikendalikan oleh negara dengan tradisi Kristen. Saat bank sentral AS/Eropa libur, transaksi internasional terhambat.
3. Natal & Tahun Baru: Dari Hari Raya ke Budaya Global
Komersialisasi Natal
- Natal telah bertransformasi dari perayaan agama menjadi fenomena budaya dan ekonomi. Contoh:
- Penjualan retail global saat Natal capai $1 Triliun (Forbes 2022).
- Tradisi bagi hadiah dan diskon akhir tahun mendorong konsumsi massal.
Tahun Baru sebagai Momentum Universal
- Tahun Baru 1 Januari dirayakan sebagai malam pergantian tahun secara sekuler, bahkan di negara non-Kristen seperti Jepang atau India.
4. Perbandingan dengan Hari Raya Agama Lain
Contoh Hari Raya Non-Kristen
- Idul Fitri: Meski dirayakan oleh 1.9 miliar Muslim, pasar saham Dubai atau Indonesia hanya tutup 1-2 hari, tanpa pengaruh signifikan ke pasar Eropa/AS.
- Diwali (Hindu): Bursa India tutup, tetapi perdagangan emas dan komoditas global tetap berjalan.
- Imlek: Bursa China tutup, tetapi bank sentral AS/Eropa tetap aktif.
Mengapa Tidak Diadopsi Global?
- Kurangnya Pengaruh Ekonomi: Negara dengan hari raya non-Kristen (kecuali China) belum mendominasi sistem keuangan global.
- Tidak Terstandarisasi: Tanggal hari raya seperti Idul Fitri atau Imlek bergantung pada kalender lunar, sehingga berbeda tiap tahun.
5. Krisis Kapitalisme dan Kritik atas Hegemoni Barat
Kritik dari Pakar
- Menurut ekonom Ha-Joon Chang dalam bukunya “Bad Samaritans”, penutupan pasar saat Natal mencerminkan “hegemoni ekonomi Barat”, bukan superioritas agama.
- Noam Chomsky menyebut sistem keuangan global sebagai “warisan kolonial” yang masih meminggirkan negara non-Barat.
Potensi Perubahan
- Bangkitnya ekonomi China (dengan libur Imlek) dan Timur Tengah (dengan investasi minyak) mungkin menggeser dominasi ini di masa depan.
Kesimpulan: Bukan Agama, Tapi Kekuatan Ekonomi
Penutupan pasar saat Natal dan Tahun Baru bukan karena keistimewaan agama Kristen, melainkan konsekuensi dari:
- Dominasi negara Kristen-mayoritas dalam sistem keuangan global.
- Kalender Gregorian sebagai standar internasional.
- Transformasi Natal-Tahun Baru menjadi budaya konsumsi global.
Perubahan hanya mungkin terjadi jika kekuatan ekonomi dunia bergeser ke negara dengan tradisi agama berbeda.