Ibnu Sina dan Floating Man: Bukti Jiwa Terpisah dari Tubuh? Ini Kata Sains Modern

Ibnu Sina dan Floating Man: Bukti Jiwa Terpisah dari Tubuh? Ini Kata Sains Modern

Waktu membaca: 3 menit

Loading

Di dunia filsafat Islam, nama Ibnu Sina atau Avicenna menjadi tokoh besar yang dikenal tak hanya sebagai tabib, tetapi juga filsuf brilian yang memadukan ilmu kedokteran, logika, dan metafisika. Salah satu pemikirannya yang paling terkenal adalah eksperimen pemikiran yang dikenal sebagai Floating Man Experiment — eksperimen yang masih relevan bahkan ketika kita membicarakan neuroscience dan psikologi modern saat ini.

Pertanyaannya sangat sederhana, namun menggugah:

Jika seseorang diciptakan langsung di udara, tanpa tubuh, tanpa indera, tanpa memori—apakah ia akan tetap sadar bahwa ia ada?

Ibnu Sina menjawab: YA. Dan dari jawaban itu, ia membangun argumen bahwa jiwa adalah entitas yang berbeda dari tubuh, sesuatu yang bersifat kekal, tak terlihat, dan menjadi pusat dari kesadaran diri manusia.

Namun, apakah sains modern setuju dengan pandangan ini? Mari kita telusuri lebih dalam.


Apa Itu Floating Man Experiment?

Versi Ibnu Sina: Jiwa Ada Tanpa Tubuh

Ibnu Sina mengajak kita membayangkan seseorang yang tercipta langsung di udara, melayang, tanpa menyentuh apa pun, tanpa melihat, mendengar, mencium, atau merasakan sesuatu. Tidak ada interaksi sensorik. Namun, dalam kondisi itu, orang tersebut tetap memiliki kesadaran akan eksistensinya sendiri.

Inilah bukti menurut Ibnu Sina bahwa kesadaran diri tidak tergantung pada tubuh. Jiwa adalah entitas yang berdiri sendiri dan tidak bergantung pada fungsi tubuh atau organ.

Argumen ini bukan sekadar spekulasi. Ini adalah dasar dari pandangan dualisme jiwa-tubuh, dan eksperimen ini dianggap sebagai cikal bakal pemikiran Descartes yang terkenal dengan “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada).


Apa Kata Sains Modern Tentang Kesadaran dan Jiwa?

Neurosains: Kesadaran Terikat pada Otak

Dalam pandangan neuroscience modern, kesadaran dipahami sebagai hasil dari aktivitas otak yang kompleks. Berbagai bagian otak—terutama prefrontal cortex dan jaringan default mode network—berperan dalam pembentukan “rasa diri” atau self-awareness.

BACA JUGA:  Apa Itu Zombi? Sejarah, Mitos, dan Pengaruhnya dalam Budaya Populer

Jika otak rusak akibat trauma atau penyakit seperti Alzheimer, stroke, atau koma, kesadaran bisa terganggu bahkan menghilang. Ini menjadi bukti empiris bahwa kesadaran bukan entitas yang berdiri sendiri, tapi bergantung pada struktur dan fungsi otak.

Namun, hingga kini belum ada teori yang benar-benar bisa menjelaskan mengapa dan bagaimana kesadaran bisa muncul dari materi biologis. Ini disebut sebagai “the hard problem of consciousness” dalam filsafat pikiran.


Kekuatan Pikiran dalam Penyembuhan: Psikosomatik ala Ibnu Sina

Ibnu Sina dalam kitab Canon of Medicine sudah mengaitkan pikiran, emosi, dan niat dengan kesehatan tubuh. Ia menulis bahwa niat yang kuat dapat mempercepat penyembuhan, sementara pikiran yang buruk dapat memperparah penyakit.

Sains modern menyebut ini sebagai psikosomatis — kondisi ketika gejala fisik muncul akibat gangguan psikologis. Efek placebo dan nocebo juga menunjukkan bahwa sugesti bisa memengaruhi sistem imun, hormon, dan bahkan percepatan penyembuhan luka.

Ibnu Sina menyadari ini 1.000 tahun sebelum ilmu modern mengakuinya.


Wahm: Senjata Dua Sisi dalam Diri Manusia

Ibnu Sina juga mengenalkan konsep wahm — kekuatan imajinatif yang memberikan makna emosional terhadap sesuatu. Wahm bisa menyebabkan seseorang merasa takut pada sesuatu yang belum terjadi, yakin akan gagal sebelum mencoba, atau merasa dicintai padahal hanya ilusi.

Dalam psikologi modern, hal ini sejajar dengan cognitive bias, mental framing, dan overthinking. Otak manusia memang sering “mengisi celah” informasi dengan dugaan, bahkan ilusi, demi mempertahankan narasi yang nyaman bagi diri sendiri.


Perdebatan Kekal: Jiwa Kekal atau Produk Otak Saja?

Salah satu argumen paling kuat dari Ibnu Sina adalah bahwa jiwa manusia bersifat kekal dan tidak ikut musnah bersama tubuh. Ini karena:

  • Kesadaran tidak tergantung pada tubuh.

  • Tubuh selalu berubah, tapi rasa “aku” tetap.

  • Jiwa memiliki kekuatan seperti wahm yang tak dimiliki binatang.

BACA JUGA:  Bule di Bali Bikin Onar: Membidik Pulang Gratis via Deportasi

Namun sains menanggapi dengan hati-hati. Menurut biologi dan neuropsikologi, identitas diri disimpan dalam memori, pola koneksi otak, dan interaksi sosial. Ketika memori rusak, seperti pada pasien Alzheimer, rasa “diri” bisa hilang.

Perbandingan: Ibnu Sina vs Sains Modern

Aspek

Pandangan Ibnu Sina

Pandangan Sains Modern

Sumber kesadaran

Jiwa (immaterial)

Aktivitas otak

Eksistensi jiwa

Kekal & mandiri

Tidak terbukti secara empiris

Pengaruh pikiran terhadap tubuh

Besar (psikosomatis)

Diakui lewat placebo, stres, dll

Wahm / estimasi

Mekanisme batin jiwa

Cognitive bias, mental model

Kontinuitas identitas

Jiwa sebagai pusat “aku”

Memori & otak sebagai basis identitas


Kesimpulan: Apakah Kamu Adalah Tubuhmu, atau Lebih dari Itu?

Pemikiran Ibnu Sina memberikan pandangan mendalam bahwa manusia bukan sekadar kumpulan daging dan darah. Ada sesuatu yang lebih, yang menyimpan kesadaran, identitas, dan bahkan kekuatan untuk menciptakan makna sendiri: jiwa.

Meskipun ilmu modern belum sepenuhnya setuju atau bisa membuktikan keberadaan jiwa, keduanya sebenarnya tidak perlu bertentangan. Pemikiran Ibnu Sina justru bisa jadi jembatan antara filsafat klasik dan riset neurosains masa kini.

Barangkali, tubuh adalah kapal. Tapi kamu adalah kaptennya.


Daftar Pustaka & Sumber Terpercaya

  1. What Can Avicenna Teach Us About the Mind–Body Problem – Aeon

  2. Ibn Sina on Floating Man Arguments (PDF – P. Adamson)

  3. PubMed – Ibn Sina’s Contributions to Psychiatry

  4. Frontiers in Psychology – Self-Consciousness and Flying Man

  5. ResearchGate – Arab Contributions to Neuroscience

 

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.