baterai sodium-ion

Beredar Baterai Sodium-Ion: Generasi Baru Teknologi Mobil Listrik

Waktu membaca: 9 menit

Loading

Sejarah dan Pengembangan Baterai Sodium-Ion

Penelitian mengenai baterai sodium-ion sudah dimulai sejak akhir 1970-an. Ilmuwan Prancis Michel Armand kala itu mengusulkan konsep “baterai kursi goyang” yang menjadi dasar prinsip kerja baterai ion (ion bergerak bolak-balik antara elektroda)​ (kmdpower.com). Di era 1980-an, beberapa prototipe awal baterai sodium-ion dikembangkan, namun pada 1990-an perhatian beralih ke baterai lithium-ion yang dianggap lebih menjanjikan secara komersial​ (en.wikipedia.org). Sony berhasil mengkomersialkan baterai lithium-ion pada tahun 1991, sehingga riset sodium-ion sempat meredup.

Memasuki awal 2000-an, minat terhadap baterai sodium-ion bangkit kembali. Salah satu pemicunya adalah ditemukannya material anoda karbon keras (hard carbon) sekitar tahun 2000 yang mampu menyimpan ion natrium dengan lebih efektif (kmdpower.com). Material ini membuka jalan bagi pengembangan baterai sodium-ion generasi baru. Di awal 2010-an, biaya bahan baku litium melonjak dan ketersediaannya dikhawatirkan terbatas, sehingga para peneliti dan industri kembali melirik sodium-ion sebagai alternatif​ (en.wikipedia.org). Perusahaan startup dan lembaga riset mulai berlomba berinovasi dengan baterai sodium-ion. Misalnya, tim ilmuwan di Prancis berhasil membuat prototipe sel sodium-ion format 18650 pada 2015, yang kemudian dilanjutkan oleh startup Tiamat untuk diaplikasikan ke perangkat elektronik dan kendaraan listrik​ (warstek.com). Bahkan perusahaan Inggris Faradion telah memasang baterai sodium-ion komersial pertama di Australia pada Desember 2022​ (en.wikipedia.org). Dengan semakin matangnya teknologi, paten dan publikasi tentang baterai sodium-ion meningkat pesat setelah 2020, menandakan teknologi ini mulai memasuki tahap komersialisasi​ (en.wikipedia.org).

Cara Kerja Baterai Sodium-Ion

Ilustrasi konsep baterai sodium-ion saat ion natrium (Na+) bergerak antara katoda dan anoda melalui elektrolit. Secara prinsip, cara kerja baterai sodium-ion mirip dengan baterai lithium-ion. Baterai ini terdiri dari tiga komponen utama: anoda (elektroda negatif), katoda (elektroda positif), dan elektrolit yang mengandung garam natrium terlarut. Saat baterai diisi (charging), ion-ion natrium berpindah dari katoda melalui elektrolit menuju anoda, sementara elektron mengalir melalui sirkuit luar ke anoda. Ion natrium tersebut terinterkalasi (tersimpan) di material anoda. Kemudian saat baterai digunakan mengeluarkan energi (discharging), ion-ion natrium bergerak kembali dari anoda ke katoda melalui elektrolit, dan melepaskan elektron ke sirkuit luar​ (kmdpower.com). Proses bolak-balik migrasi ion inilah yang menyimpan dan melepaskan energi kimia menjadi energi listrik.

Baterai Sodium-Ion

Komponen katoda pada baterai sodium-ion umumnya menggunakan bahan berbasis natrium (misalnya oksida logam transition yang mengandung natrium atau senyawa Prussian blue), sedangkan anoda biasanya menggunakan karbon (karbon keras) atau material lain yang bisa menyerap ion natrium​ (kmdpower.com kmdpower.com). Elektrolitnya berupa larutan garam natrium (seperti NaClO4 atau NaPF6) dalam pelarut organik, yang memungkinkan ion Na+ bergerak bebas antara elektroda​ (warstek.com). Ketika baterai diisi penuh, anoda akan kaya ion natrium, dan saat baterai habis, katoda yang menyimpan ion tersebut. Mekanisme kerja yang sederhana ini membuat baterai sodium-ion pada dasarnya bekerja serupa dengan baterai lithium-ion, hanya berbeda pada jenis ion yang dibawa (natrium menggantikan litium).

Perbandingan Baterai Sodium-Ion vs Lithium-Ion

Baterai sodium-ion sering dianggap alternatif generasi baru yang potensial untuk menggantikan lithium-ion di berbagai aplikasi, termasuk mobil listrik. Namun, keduanya memiliki karakteristik berbeda. Berikut perbandingan beberapa aspek penting:

Aspek Baterai Lithium-Ion Baterai Sodium-Ion
Kapasitas Energi(Kepadatan energi) Sangat tinggi – mampu menyimpan energi dalam densitas tinggi (≈150-250 Wh/kg). Cocok untuk jangka panjang, memberi jarak tempuh EV yang lebih jauh. Lebih rendah – densitas energi sekitar 20-30% di bawah Li-ion (misal ≈100-160 Wh/kg). Masih dikembangkan untuk mendekati lithium-ion​ (news.stanford.edu). Jarak tempuh EV lebih pendek jika ukuran baterai sama.
Efisiensi (Performa pengisian/penggunaan) Tinggi – efisiensi charge-discharge di atas 90%. Pengisian cepat tersedia pada banyak tipe. Tinggi – efisiensi serupa (>90%). Beberapa desain sodium-ion mendukung pengisian cepat (misal 80% dalam 15 menit pada prototipe CATL). Performa keseluruhan mendekati lithium-ion.
Biaya Produksi Lebih mahal – bahan baku litium dan logam seperti kobalt/nikel langka dan mahal. Rantai pasokan kompleks meningkatkan biaya​ (kmdpower.com). Namun, produksi sudah skala massal sehingga biaya per unit mulai turun. Berpotensi lebih murah – natrium sangat melimpah (2,6% kerak bumi vs lithium 0,06% (warstek.com)) dan harga garam natrium jauh lebih rendah daripada garam litium (warstek.com). Diperkirakan biaya produksi bisa lebih rendah jika sudah diproduksi massal​ (kmdpower.com). Saat ini, biayanya masih kompetitif karena skala produksi sodium-ion masih kecil (kompasiana.com).
Keamanan Cukup aman, namun memiliki risiko thermal runaway (panas berlebih) yang dapat menyebabkan kebakaran jika terjadi korsleting atau kerusakan. Perlu sistem manajemen baterai yang baik untuk mencegah overcharge/overheat. Lebih aman – baterai sodium-ion lebih tahan terhadap suhu ekstrem dan kurang rentan meledak/terbakar. Dapat beroperasi pada suhu sangat dingin dan panas (sekitar -30°C hingga 50°C) dengan risiko kebakaran lebih rendah (newatlas.com). Kimia natrium tidak se-reaktif litium, sehingga secara inheren lebih stabil​ (pcworld.com).
Dampak Lingkungan Bahan baku melibatkan penambangan litium, kobalt, dll., yang berdampak pada lingkungan (kerusakan ekosistem dan penggunaan air yang besar). Daur ulang baterai lithium-ion juga menantang dan baterai bekasnya dapat mencemari lingkungan jika dibuang sembarangan (indianexpress.com). Lebih ramah lingkungan – natrium dapat diperoleh dari garam (NaCl) yang sangat melimpah tanpa perlu penambangan merusak. Tidak menggunakan unsur kritis seperti kobalt, sehingga jejak lingkungan lebih rendah​(pcworld.com). Baterai sodium-ion juga diklaim lebih mudah didaur ulang dan tidak terlalu beracun.
BACA JUGA:  Mobil Hybrid: Kombinasi Efisiensi dan Performa untuk Masa Depan Otomotif

Sebagai gambaran, perbedaan kepadatan energi di atas membuat baterai lithium-ion masih unggul untuk mencapai jarak jauh pada mobil listrik. Namun, baterai sodium-ion menawarkan keamanan dan umur pakai yang lebih tinggi. Siklus hidup baterai sodium-ion bisa mencapai ~5.000 siklus charge/discharge sebelum kapasitasnya turun signifikan, jauh melampaui baterai lithium-ion yang umumnya bertahan ~500 siklus hingga kapasitas tinggal 80%​ (pcworld.com). Dari sisi biaya dan lingkungan, sodium-ion jelas menarik karena natrium jauh lebih murah dan melimpah dibanding litium(​warstek.com). Hal ini berarti produksi massal sodium-ion di masa depan dapat mengurangi ketergantungan pada material kritis dan menekan biaya produksi baterai EV. Meskipun saat ini kepadatan energinya lebih rendah, para peneliti aktif mencari material katoda/anoda baru agar kinerja sodium-ion bisa mendekati lithium-ion tanpa mengorbankan keunggulan biayanya.

Jepang dalam Pengembangan Baterai Sodium-Ion

Power bank Elecom Na+ (Na Plus) – power bank komersial pertama di dunia yang menggunakan baterai sodium-ion. Pada awal 2025, perusahaan Jepang Elecom membuat gebrakan dengan meluncurkan power bank sodium-ion pertama di dunia​ (newatlas.com). Produk bernama Elecom DE-C55L-9000 atau “Na Plus” ini berkapasitas 9.000 mAh dan menjadi bukti nyata bahwa baterai sodium-ion siap masuk pasar konsumen. Secara tampilan, power bank ini serupa dengan power bank pada umumnya, tetapi teknologi di dalamnya berbeda: ia memakai sel baterai sodium-ion alih-alih lithium-ion.

Powerbank Sodium Jepang

Peluncuran power bank sodium-ion di Jepang ini menunjukkan beberapa keunggulan teknologi sodium-ion. Elecom mengklaim Na Plus dapat diisi ulang hingga 5.000 kali siklus sebelum kapasitasnya menurun drastis​ (pcworld.com). Angka ini sekitar 10 kali lipat lebih banyak dibanding power bank lithium-ion biasa yang umumnya mulai turun performanya setelah ~500 siklus pengisian​ (pcworld.com). Artinya, umur pakai perangkat dengan baterai sodium-ion bisa mencapai lebih dari satu dekade (sekitar 13 tahun jika diisi setiap hari)​ (theverge.com). Selain itu, power bank ini dapat beroperasi di suhu ekstrem, dari sekitar -30°C hingga 50°C, tanpa risiko overheat atau terbakar​ (newatlas.com). Hal ini sangat berguna bagi pengguna yang bekerja atau beraktivitas di luar ruangan pada kondisi cuaca ekstrem. Dari sisi keamanan, Elecom Na Plus lebih tahan terhadap thermal runaway, sehingga risiko kebakaran akibat baterai jauh berkurang.

Meski membawa inovasi, ada beberapa catatan dari produk Jepang ini. Bobot power bank sodium-ion Elecom sekitar 350 gram, sedikit lebih berat dibanding power bank lithium-ion berkapasitas mirip yang biasanya di kisaran 200 gram​ (pcworld.com). Hal ini wajar karena densitas energi sodium-ion lebih rendah, sehingga untuk kapasitas 9000 mAh, ukuran dan beratnya agak lebih besar. Harga power bank tersebut juga tercatat sekitar ¥9.980 (yen) atau sekitar Rp1-1,2 juta​ (theverge.com,) (pcworld.com), sedikit lebih mahal dibanding power bank konvensional. Kendati demikian, konsumen mendapatkan usia pakai yang jauh lebih lama dan keamanan lebih tinggi. Keberhasilan Jepang memasarkan perangkat berbasis sodium-ion ini menjadi tonggak penting yang mendorong produsen lain untuk mengembangkan aplikasi komersial baterai sodium-ion berikutnya.

Pengembangan Masa Depan Teknologi Sodium-Ion

Potensi baterai sodium-ion di masa depan sangat menjanjikan, terutama untuk mendukung revolusi mobil listrik yang ramah lingkungan dan terjangkau. Berbagai perusahaan besar di dunia tengah berlomba mengembangkan teknologi ini. Di Cina, produsen baterai terbesar CATL (Contemporary Amperex Technology Co.) telah merilis generasi pertama prototipe baterai sodium-ion pada 2021, dan mengumumkan pengembangan baterai sodium-ion generasi kedua yang rencananya diluncurkan pada 2025​( kompasiana.com). Baterai generasi baru CATL tersebut diklaim mampu beroperasi normal hingga suhu -40°C dan memiliki kepadatan energi yang ditargetkan menembus 200 Wh/kg​ (kompasiana.com). Jika tercapai, angka ini mendekati kepadatan energi baterai lithium-ion, sehingga kesenjangan performa antara sodium-ion dan lithium-ion akan makin kecil. Meski diluncurkan 2025, CATL memperkirakan produksi massal baru akan dimulai sekitar 2027​ (kompasiana.com). Ini memberi sinyal bahwa secara industri, sodium-ion sedang dipersiapkan untuk diproduksi dalam skala besar pada beberapa tahun ke depan.

Di sektor otomotif, penggunaan baterai sodium-ion untuk mobil listrik sudah mulai direalisasikan. Pabrikan mobil listrik terkemuka BYD (China) pada 2023 memperkenalkan city car bernama BYD Seagull dengan opsi baterai sodium-ion ~30 kWh sebagai varian terjangkau​ (carscoops.com). BYD Seagull menjadi salah satu mobil listrik pertama di dunia yang menggunakan kimia baterai sodium-ion, yang mana biaya produksinya lebih murah sehingga harga mobil bisa ditekan hingga sekitar 10 ribu dolar (≈Rp150 juta)​ (carscoops.com). Meskipun versi awal Seagull masih banyak menggunakan baterai LFP (lithium iron phosphate), langkah BYD ini menegaskan bahwa sodium-ion adalah teknologi viable untuk EV kelas entry-level. Ke depan, jika kinerja sodium-ion terus membaik, bukan tidak mungkin mobil listrik kelas menengah pun akan mengadopsinya, terutama untuk pasar yang sensitif harga.

Tentu, ada beberapa tantangan yang harus diatasi agar baterai sodium-ion dapat berjaya. Yang utama adalah menaikkan kapasitas energi agar setara lithium-ion. Saat ini, karena jumlah energi per berat sodium-ion lebih rendah, biaya per kWh energi yang tersimpan justru masih cenderung lebih tinggi daripada lithium-ion (harus memakai baterai lebih banyak untuk mencapai kapasitas sama)​ (news.stanford.edu). Artinya, terlepas dari murahnya bahan baku, tanpa terobosan teknologi, sodium-ion mungkin kurang ekonomis untuk aplikasi skala besar kecuali jika skala produksinya sudah masif. Oleh karena itu, penelitian lanjutan difokuskan pada penemuan material katoda/anoda baru (misal kombinasi logam, karbon, atau senyawa baru) yang dapat meningkatkan densitas energi dan umur siklus baterai. Selain itu, perlu dibangun rantai pasokan dan fasilitas produksi besar untuk mencapai skala ekonomi. Kabar baiknya, banyak investor dan pemerintah yang mendukung pengembangan ini karena melihat manfaat strategisnya​ (news.stanford.edu)  (news.stanford.edu). Dengan sodium-ion, kekhawatiran akan kelangkaan litium di masa depan bisa berkurang dan ketergantungan pada impor bahan baku kritis dapat ditekan.

BACA JUGA:  Drone untuk Inspeksi Jembatan: Mengamankan Infrastruktur dengan Teknologi Canggih

Secara keseluruhan, baterai sodium-ion diproyeksikan akan melengkapi (bukan serta-merta menggantikan sepenuhnya) baterai lithium-ion. Strateginya bisa berupa kombinasi teknologi: lithium-ion untuk kebutuhan densitas energi tertinggi (misal mobil jarak jauh atau perangkat berukuran ringkas), dan sodium-ion untuk aplikasi yang menekankan biaya rendah, keamanan, dan umur panjang (misal penyimpanan energi jaringan, kendaraan listrik murah, atau perangkat di lingkungan ekstrem) (kmdpower.com) (kmdpower.com). Apabila inovasi material terus berkembang, bukan tidak mungkin kita akan melihat mobil listrik generasi baru yang baterainya terbuat dari “garam dapur” natrium ini dalam jumlah besar di jalan raya. Dampaknya tentu positif: harga mobil listrik bisa lebih terjangkau, rantai pasokan baterai lebih aman dari gejolak harga mineral, dan lingkungan pun diuntungkan oleh teknologi yang lebih hijau.

FAQ seputar Baterai Sodium-Ion

  • Apa itu baterai sodium-ion?
    Baterai sodium-ion adalah jenis baterai isi ulang yang menggunakan ion natrium (Na<sup>+</sup>) sebagai pembawa muatan untuk menyimpan dan melepaskan energi listrik. Cara kerjanya mirip dengan baterai lithium-ion, di mana ion bergerak bolak-balik antara katoda dan anoda melalui elektrolit selama proses pengisian dan pengosongan (kmdpower.com)

    Bedanya, bahan aktif utamanya adalah senyawa natrium, bukan litium.

  • Apakah baterai sodium-ion lebih baik daripada baterai lithium-ion?
    “Lebih baik” tergantung pada aspek apa yang dinilai. Baterai lithium-ion unggul dalam kepadatan energi yang lebih tinggi, sehingga dapat menyimpan energi lebih banyak untuk berat yang sama – ini penting untuk jarak tempuh mobil listrik. Namun, baterai sodium-ion memiliki sejumlah kelebihan: bahan bakunya jauh lebih murah dan melimpah, lebih aman (risiko kebakaran lebih rendah), dan umur siklusnya bisa lebih panjang​ (pcworld.com)

    Jadi, sodium-ion lebih baik dalam hal biaya, keamanan, dan keberlanjutan, sedangkan lithium-ion masih unggul dalam performa energi saat ini. Keduanya kemungkinan akan saling melengkapi sesuai kebutuhan aplikasi.

  • Kapan baterai sodium-ion akan digunakan dalam mobil listrik?
    Baterai sodium-ion sudah mulai digunakan secara terbatas. Contohnya, power bank komersial pertama berbasis sodium-ion telah diluncurkan pada 2025​ (newatlas.com)

    dan produsen seperti BYD telah menguji coba baterai sodium-ion pada mobil listrik kota (city car) mereka​ (carscoops.com). Dalam 2-3 tahun ke depan (sekitar 2025-2027), diperkirakan akan muncul lebih banyak kendaraan listrik berbiaya rendah yang memakai baterai sodium-ion, terutama di Tiongkok. Produksi massal dalam skala gigafactory direncanakan mulai 2027 oleh perusahaan seperti CATL​ (kompasiana.com). Jadi, kemungkinan besar menjelang akhir dekade ini kita akan melihat mobil listrik berbaterai sodium-ion meluncur di pasaran, dimulai dari segmen kendaraan perkotaan atau kendaraan niaga untuk jarak pendek.

  • Apa tantangan terbesar dalam pengembangan baterai sodium-ion?
    Tantangan utamanya adalah meningkatkan kepadatan energi baterai agar mendekati lithium-ion tanpa mengorbankan kelebihan lainnya. Ion natrium yang lebih besar dan berat membuat sulit untuk mencapai kapasitas per berat setinggi baterai litium​ fligreen.com

    sehingga inovasi material katoda/anoda menjadi krusial. Selain itu, industri perlu berinvestasi besar-besaran untuk produksi massal agar biaya per unit benar-benar turun. Saat ini biaya produksi sodium-ion per kWh masih bisa lebih tinggi daripada lithium-ion karena efek skala belum tercapai​ (kompasiana.com). Tantangan lain termasuk memastikan kinerja baterai pada suhu ruang (karena beberapa prototipe awal perlu suhu tinggi), dan integrasi ke desain kendaraan listrik yang sudah ada. Meski begitu, para peneliti optimistis hambatan-hambatan ini dapat diatasi dengan kemajuan riset material dan dukungan investasi yang terus mengalir.

  • Apakah baterai sodium-ion ramah lingkungan?
    Ya, secara umum baterai sodium-ion dianggap lebih ramah lingkungan dibanding lithium-ion​ (pcworld.com)

    Hal ini karena bahan baku natrium (misalnya garam NaCl) tersedia melimpah di alam dan dapat diperoleh dengan dampak lingkungan minimal, berbeda dengan litium yang penambangannya dapat merusak lingkungan dan menguras sumber daya air. Selain itu, baterai sodium-ion tidak menggunakan kobalt atau nikel, yang pertambangannya sering dikaitkan dengan isu lingkungan dan sosial. Proses daur ulang baterai sodium-ion pun diprediksi lebih sederhana karena komposisi kimianya lebih aman (misal, tidak mengandung logam berat beracun). Tentunya, semua baterai perlu didaur ulang dengan baik untuk mencegah limbah, tapi sodium-ion memberikan opsi teknologi baterai yang lebih eco-friendly dan berkelanjutan untuk masa depan​

Sumber Referensi: Bahan-bahan disusun dari berbagai sumber tepercaya, termasuk publikasi ilmiah, laporan berita teknologi, dan situs edukasi sains. Beberapa di antaranya: Warstek (Warung Sains Teknologi), Wikipedia, Stanford University News, PCWorld, The Verge, New Atlas, serta rilis berita industri seperti dari CATL dan Elecom. Semua data dan pernyataan faktual telah didukung oleh referensi yang tercantum pada teks. Dengan perkembangan riset yang begitu pesat, baterai sodium-ion kian mengukuhkan diri sebagai calon kuat generasi baru dalam teknologi mobil listrik​ (news.stanford.edu) (kmdpower.com,) Mobil listrik bertenaga “garam” kini bukan lagi sekadar konsep fiksi, melainkan segera menjadi realitas yang dapat kita saksikan bersama.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.